Anak di Bawah Umur di Mata Orangtua, Hukum & Negara

Namun pada hakikatnya, segala bentuk penanganan terhadap anak yang melanggar hukum harus dilakukan dengan memprioritaskan kepentingan terbaik untuk si anak. Oleh karena itu, keputusan yang diambil hakim (apabila kasus diteruskan sampai persidangan) harus adil dan proporsional, serta tidak semata-mata dilakukan atas pertimbangan hukum. Keputusan hokum tersebut juga harus mempertimbangkan berbagai faktor lain, seperti kondisi lingkungan sekitar, status sosial anak, dan keadaan keluarga. Hal-hal ini dijamin serta diatur dalam UU Pengadilan Anak. Misalnya, pada saat polisi melakukan penangkapan dan pemeriksaan, dia wajib untuk menghubungi dan mendatangkan seorang petugas Bapas (Balai Pemasyarakatan, biasa juga disebut PK atau Petugas Kemasyarakatan). Petugas Bapas berfungsi hampir sama seperti probation officer. Polisi wajib menyertakan hasil Litmas (Penelitian Kemasyarakatan) yang dibuat oleh petugas Bapas dalam Berita Acara Pemeriksaannya. Tanpa Litmas, Jaksa harus menolak BAP dan meminta kelengkapannya kembali. Litmas ini berisi tentang latar belakang anak secara keseluruhan, seperti data diri, keluarga, sekolah, dan lingkungan sekitar, sampai dengan latar belakang kasus, seperti kronologi kejadian, motif, gambaran mengenai seberapa serius kasus, kondisi tersangka, dll.
Perlakuan kasus pidana anak di bawah umur di negara lain, sebut saja Amerika Serikat sangat berbeda dengan di Indonesia. Negeri Paman Sam juga memiliki undang-undang tentang perlakuan anak di bawah umur. Misalnya, si anak mengendarai mobil, maka akan dikenakan sanksi hukum pidana atau denda kepada kedua orangtuanya. Kemudian, bila sang anak sangat bisa dihukum dengan menjadi peliharaan negara. Artinya, sang anak akan dipenjarakan di tempat khusus untuk mendapatkan pelatihan dan pendidikan oleh negara. Namun, efek jera pada sang anak di mata hukum tidak harus dengan penjara akan tetapi juga bisa dengan cara lain seperti melakukan kecaman moral, dengan membayar denda, atau hukuman pidana ringan lainnya. Nah pertanyaannya, apakah undang-undang di Indonesia sudah cukup ? Dalam hal ini siapakah yang sebenarnya harus bertanggung jawab atas tindakan sang anak nakal?
Belum adanya peraturan yang menyeluruh tentang sistem peradilan anak sebagaimana disebutkan pada bagian awal membawa implikasi pada belum adanya polisi khusus anak dan jaksa khusus anak. Saat ini, yang ada barulah hakim anak, sidang anak, dan lembaga pemasyarakatan anak. Keterbatasan sistem hukum kita memandang masalah tindak pidana oleh anak hanya pada urusan pengadilan anak, menyebabkan pertimbangan yang digunakan oleh petugas yang terlibat masih merupakan pertimbangan hukum' semata, yang mendasarkan keputusannya pada apakah si anak bersalah atau tidak sebagai pelanggar hukum, tingkat keseriusan perbuatannya, dan catatan kriminal yang dimilikinya. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika sampai saat ini terdapat kenyataan yang memprihatinkan bahwa sebagian besar kasus pelanggaran hukum oleh anak yang ditangani polisi, diteruskan ke dalam proses pidana selanjutnya, dan sebagian besar dari kasus yang diproses tersebut berakhir dengan keputusan pemenjaraan. Padahal, seharusnya kedua hal tersebut menjadi alternatif upaya yang paling akhir.
Selain itu, fenomena yang terjadi di Indonesia seolah-olah hukum tidak adil, mengapa? Karena contoh kasus anak Hatta Rajasa juga menjadikan sang anak yang sudah dewasa ini tidak dipenjara padahal sudah jelas sekali dia bersalah di mata hukum karena mengakibatkan kerugian atau menimbulkan korban bagi orang lain atas peristiwa tabrakan tersebut. Apakah ada kesepakatan di belakang aparat penegak hukum dan sang korban? Apakah ada proses diversi (penyelesaian di luar pengadilan) seperti proses hukum anak di bawah umur? Dan saya harap kasus tabrakan yang dilakukan oleh anak Ahmad Dani ini tetap melalui proses hukum yang adil sesuai undang-undang.
Kasus di atas menjadi pelajaran penting bagi para orangtua dan anak. Karena peran orangtua sangat berpengaruh dalam mengarahkan dan mendidik anak agar bertindak serta bertingkah laku yang baik dan sopan. Masa depan anak itu tergantung bagaimana para orangtua mengawasinya selama 24 jam di rumah. Sebaiknya para orangtua membuat kesepakatan di rumah dengan anak terkait hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Dengan begitu, si anak tidak terlalu dimanja atau disibukkan dengan hal-hal yang tidak positif dan mengakibatkan sulitnya proses pendewasaan. Tidak hanya para orangtua, para guru dan pemerintah khususnya juga harus mendukung proses pencerdasan anak dan masyarakat. Sehingga, terjadi sinergitas dalam membangun masa depan yang lebih baik, khususnya para generasi bangsa di masa yang akan datang.
Perlakuan kasus pidana anak di bawah umur di negara lain, sebut saja Amerika Serikat sangat berbeda dengan di Indonesia. Negeri Paman Sam juga memiliki undang-undang tentang perlakuan anak di bawah umur. Misalnya, si anak mengendarai mobil, maka akan dikenakan sanksi hukum pidana atau denda kepada kedua orangtuanya. Kemudian, bila sang anak sangat bisa dihukum dengan menjadi peliharaan negara. Artinya, sang anak akan dipenjarakan di tempat khusus untuk mendapatkan pelatihan dan pendidikan oleh negara. Namun, efek jera pada sang anak di mata hukum tidak harus dengan penjara akan tetapi juga bisa dengan cara lain seperti melakukan kecaman moral, dengan membayar denda, atau hukuman pidana ringan lainnya. Nah pertanyaannya, apakah undang-undang di Indonesia sudah cukup ? Dalam hal ini siapakah yang sebenarnya harus bertanggung jawab atas tindakan sang anak nakal?
Belum adanya peraturan yang menyeluruh tentang sistem peradilan anak sebagaimana disebutkan pada bagian awal membawa implikasi pada belum adanya polisi khusus anak dan jaksa khusus anak. Saat ini, yang ada barulah hakim anak, sidang anak, dan lembaga pemasyarakatan anak. Keterbatasan sistem hukum kita memandang masalah tindak pidana oleh anak hanya pada urusan pengadilan anak, menyebabkan pertimbangan yang digunakan oleh petugas yang terlibat masih merupakan pertimbangan hukum' semata, yang mendasarkan keputusannya pada apakah si anak bersalah atau tidak sebagai pelanggar hukum, tingkat keseriusan perbuatannya, dan catatan kriminal yang dimilikinya. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika sampai saat ini terdapat kenyataan yang memprihatinkan bahwa sebagian besar kasus pelanggaran hukum oleh anak yang ditangani polisi, diteruskan ke dalam proses pidana selanjutnya, dan sebagian besar dari kasus yang diproses tersebut berakhir dengan keputusan pemenjaraan. Padahal, seharusnya kedua hal tersebut menjadi alternatif upaya yang paling akhir.
Selain itu, fenomena yang terjadi di Indonesia seolah-olah hukum tidak adil, mengapa? Karena contoh kasus anak Hatta Rajasa juga menjadikan sang anak yang sudah dewasa ini tidak dipenjara padahal sudah jelas sekali dia bersalah di mata hukum karena mengakibatkan kerugian atau menimbulkan korban bagi orang lain atas peristiwa tabrakan tersebut. Apakah ada kesepakatan di belakang aparat penegak hukum dan sang korban? Apakah ada proses diversi (penyelesaian di luar pengadilan) seperti proses hukum anak di bawah umur? Dan saya harap kasus tabrakan yang dilakukan oleh anak Ahmad Dani ini tetap melalui proses hukum yang adil sesuai undang-undang.
Kasus di atas menjadi pelajaran penting bagi para orangtua dan anak. Karena peran orangtua sangat berpengaruh dalam mengarahkan dan mendidik anak agar bertindak serta bertingkah laku yang baik dan sopan. Masa depan anak itu tergantung bagaimana para orangtua mengawasinya selama 24 jam di rumah. Sebaiknya para orangtua membuat kesepakatan di rumah dengan anak terkait hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Dengan begitu, si anak tidak terlalu dimanja atau disibukkan dengan hal-hal yang tidak positif dan mengakibatkan sulitnya proses pendewasaan. Tidak hanya para orangtua, para guru dan pemerintah khususnya juga harus mendukung proses pencerdasan anak dan masyarakat. Sehingga, terjadi sinergitas dalam membangun masa depan yang lebih baik, khususnya para generasi bangsa di masa yang akan datang.
0 komentar:
Posting Komentar